Perjanjian Paris: Sejarah, Perjalanan, dan Tantangan Menuju Masa Depan Iklim yang Berkelanjutan

Perubahan iklim kini bukan lagi isu masa depan—melainkan kenyataan yang sudah dirasakan oleh seluruh umat manusia. Peningkatan suhu global, naiknya permukaan laut, dan ekstremnya cuaca adalah bukti bahwa bumi tengah menghadapi krisis lingkungan terbesar dalam sejarah peradaban modern.
Untuk menjawab tantangan global ini, dunia sepakat membentuk sebuah komitmen bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement) — tonggak penting dalam upaya menahan laju pemanasan global dan menjaga keseimbangan ekosistem bumi.

Latar Belakang: Dari Krisis Lingkungan Menuju Kesadaran Global

Kesadaran terhadap isu lingkungan mulai menguat pada tahun 1970-an, ketika aktivitas industri yang masif menyebabkan polusi udara, hujan asam, dan kerusakan ekosistem di berbagai belahan dunia.
Konferensi Lingkungan Manusia di Stockholm (1972) menjadi titik awal pembahasan internasional tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.

Seiring meningkatnya bukti ilmiah tentang pemanasan global (global warming) akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, negara-negara dunia mulai menyadari bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan secara individual. Dibutuhkan kerja sama global untuk menekan emisi karbon dan membangun ekonomi yang rendah emisi (low-carbon economy).

Sebelum Perjanjian Paris: Sejarah Kesepakatan Internasional

Sebelum lahirnya Perjanjian Paris, dunia telah melalui berbagai perjanjian dan protokol yang menjadi fondasi pengelolaan perubahan iklim global. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) – 1992
    Disepakati di Rio de Janeiro dalam Earth Summit, konvensi ini menjadi dasar hukum bagi kerja sama global untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
    Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasinya pada tahun 1994.
  2. Protokol Kyoto – 1997
    Protokol ini merupakan langkah lanjutan dari UNFCCC. Negara-negara maju diwajibkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara kuantitatif antara tahun 2008–2012.
    Namun, efektivitasnya terbatas karena beberapa negara industri besar seperti Amerika Serikat tidak meratifikasinya, dan banyak negara berkembang belum diwajibkan mengurangi emisi.
  3. Konferensi Kopenhagen – 2009
    Diharapkan menghasilkan kesepakatan global baru setelah Kyoto, tetapi pertemuan ini gagal mencapai konsensus yang kuat.
    Meski begitu, Kopenhagen membuka jalan bagi sistem komitmen sukarela (voluntary commitment) dari masing-masing negara.

Kegagalan sebagian besar rezim iklim sebelumnya menunjukkan bahwa tantangan perubahan iklim bukan hanya soal sains, tetapi juga politik, ekonomi, dan keadilan global.
Dunia membutuhkan mekanisme baru yang lebih inklusif, fleksibel, dan mengikat semua negara — kaya maupun berkembang. Dari sinilah, Perjanjian Paris lahir.

Lahirnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) – 2015

Pada 12 Desember 2015, dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 (COP21) di Paris, 195 negara anggota UNFCCC menyepakati Perjanjian Paris.
Kesepakatan ini dianggap sebagai landmark agreement karena berhasil menyatukan seluruh negara untuk berkomitmen terhadap satu tujuan bersama: menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dan berupaya membatasinya hingga 1,5°C dibandingkan era pra-industri.

Berbeda dari Protokol Kyoto, Perjanjian Paris tidak membagi dunia menjadi “negara maju” dan “berkembang”, melainkan mendorong setiap negara berkontribusi sesuai kemampuan nasionalnya (common but differentiated responsibilities).
Masing-masing negara wajib menyusun rencana kontribusi nasional yang disebut Nationally Determined Contributions (NDCs) — dokumen yang berisi target penurunan emisi dan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Indonesia, misalnya, berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan usaha sendiri dan hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Isi dan Prinsip Utama Perjanjian Paris

Perjanjian Paris memiliki lima pilar utama:

  1. Mitigasi: Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui transisi energi bersih, reforestasi, dan efisiensi industri.
  2. Adaptasi: Meningkatkan ketahanan sosial-ekonomi dan ekosistem terhadap dampak perubahan iklim.
  3. Pendanaan (Climate Finance): Negara maju berkewajiban membantu negara berkembang melalui pendanaan, teknologi, dan kapasitas pembangunan berkelanjutan.
  4. Transparansi: Semua negara wajib melaporkan capaian dan progres pengurangan emisi secara terbuka dan terukur.
  5. Kerja Sama Global: Negara-negara dapat bekerja sama melalui mekanisme perdagangan karbon, transfer teknologi, dan pembangunan hijau.

Tantangan Implementasi di Masa Depan

Meski menjadi kesepakatan global terbesar dalam sejarah, implementasi Perjanjian Paris menghadapi berbagai tantangan serius.

  1. Komitmen yang Belum Cukup Kuat
    Menurut laporan UN Environment Programme (UNEP), komitmen NDC yang ada saat ini masih menempatkan dunia pada jalur kenaikan suhu sekitar 2,7°C pada akhir abad ini — jauh di atas target 1,5°C.
  2. Ketimpangan antara Negara Maju dan Berkembang
    Negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi keterbatasan pendanaan dan teknologi untuk melakukan transisi energi bersih, sementara negara maju belum sepenuhnya memenuhi janji pendanaan iklim sebesar USD 100 miliar per tahun.
  3. Transisi Energi yang Kompleks
    Ketergantungan pada bahan bakar fosil masih tinggi. Bagi negara produsen batubara seperti Indonesia, beralih ke energi terbarukan memerlukan strategi yang hati-hati agar tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi besar.
  4. Kepentingan Politik dan Ekonomi Global
    Setiap negara memiliki prioritas ekonomi yang berbeda, dan tidak jarang kebijakan iklim berbenturan dengan kepentingan industri, perdagangan, dan keamanan energi.

Harapan ke Depan: Menuju Dunia Rendah Karbon

Meskipun penuh tantangan, Perjanjian Paris tetap menjadi simbol solidaritas global dalam menghadapi krisis iklim.
Perjanjian ini mendorong transformasi besar menuju:

  • Energi bersih dan efisien,
  • Transportasi hijau dan rendah emisi,
  • Pertanian berkelanjutan, dan
  • Ekonomi sirkular yang ramah lingkungan.

Bagi Indonesia, tantangan sekaligus peluang besar terletak pada kemampuan mengintegrasikan kebijakan iklim dengan pembangunan nasional. Program seperti FOLU Net Sink 2030, transisi energi terbarukan, dan pengembangan ekosistem karbon menjadi langkah nyata menuju masa depan rendah emisi.

Penutup: Dari Komitmen ke Aksi Nyata

Perjanjian Paris bukan sekadar dokumen hukum internasional, melainkan janji moral umat manusia untuk melindungi bumi bagi generasi mendatang.
Keberhasilannya bergantung pada kemauan kolektif untuk beraksi, bukan hanya berkomitmen di atas kertas.

Sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres:

“Kita tidak memiliki planet cadangan. Waktu untuk bertindak adalah sekarang.”

You may also like...