Perjalanan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem perizinan yang mengatur bagaimana kegiatan pembangunan harus memperhatikan kelestarian alam. Seiring waktu, regulasi di bidang lingkungan terus berevolusi, menyesuaikan diri dengan tantangan zaman dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan.
Perizinan lingkungan menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan dilakukan secara terencana, terkendali, dan bertanggung jawab.
Awal Mula: Kesadaran Lingkungan di Era 1980-an
Kesadaran terhadap pentingnya perlindungan lingkungan mulai menguat di Indonesia pada awal tahun 1980-an.
Pada masa itu, pembangunan ekonomi yang pesat mulai menunjukkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti pencemaran, deforestasi, dan kerusakan ekosistem.
Sebagai respons, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Inilah tonggak awal terbentuknya kebijakan lingkungan di Indonesia.
Melalui regulasi ini, untuk pertama kalinya diperkenalkan konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) — suatu kajian ilmiah untuk menilai dampak penting suatu kegiatan terhadap lingkungan sebelum kegiatan itu dilaksanakan.
Era Penguatan Regulasi: UU Nomor 23 Tahun 1997
Memasuki tahun 1990-an, kebutuhan akan penguatan kelembagaan dan penegakan hukum lingkungan semakin besar. Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menggantikan UU sebelumnya.
Undang-undang ini mempertegas bahwa setiap rencana usaha atau kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) sebagai dasar untuk memperoleh izin usaha.
Pada tahap ini, izin lingkungan belum dikenal secara formal — AMDAL dan UKL-UPL masih berdiri sebagai dokumen teknis, bukan sebagai bentuk izin tersendiri. Namun, fungsinya sudah mulai mengarah pada mekanisme kontrol lingkungan dalam pemberian izin usaha.
Lahirnya Izin Lingkungan: UU Nomor 32 Tahun 2009
Tonggak penting berikutnya terjadi ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Inilah momen resmi lahirnya izin lingkungan sebagai instrumen hukum.
Dalam sistem baru ini, setiap rencana usaha wajib memperoleh izin lingkungan sebelum mendapatkan izin usaha atau izin kegiatan lainnya.
Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan hasil penilaian AMDAL atau UKL-UPL, dan menjadi prasyarat bagi semua bentuk perizinan di sektor lain (seperti izin tambang, industri, atau perkebunan).
Konsep ini memperkuat integrasi antara pengelolaan lingkungan dan pengendalian pembangunan, serta memberikan dasar hukum yang jelas bagi sanksi jika terjadi pelanggaran.
Transformasi ke Sistem Perizinan Terpadu: Era Omnibus Law
Seiring dengan upaya pemerintah menyederhanakan proses perizinan dan mendorong investasi, terjadi perubahan besar melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).
UU ini kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam sistem ini, izin lingkungan dihapus dan digantikan dengan Persetujuan Lingkungan, yang menjadi bagian dari Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Risk-Based Approach).
Artinya, setiap kegiatan usaha akan dinilai berdasarkan tingkat risikonya terhadap lingkungan:
- Risiko rendah → cukup dengan pernyataan kesanggupan lingkungan,
- Risiko menengah → wajib memiliki UKL-UPL,
- Risiko tinggi → wajib memiliki AMDAL dan Persetujuan Lingkungan.
Persetujuan Lingkungan kini menjadi dokumen utama yang menandakan bahwa kegiatan usaha telah dinilai layak secara lingkungan, dan menjadi bagian integral dari izin berusaha yang diterbitkan melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Arah Ke Depan: Penguatan Tata Kelola dan Digitalisasi
Perizinan lingkungan di Indonesia terus bergerak menuju sistem yang lebih transparan, efisien, dan berbasis teknologi.
Pemerintah mendorong penerapan digitalisasi dokumen lingkungan dan pengawasan terpadu berbasis data agar proses perizinan tidak hanya cepat, tetapi juga tetap menjaga prinsip keberlanjutan.
Selain itu, pendekatan baru juga menekankan pentingnya partisipasi publik, akuntabilitas perusahaan, serta pemantauan jangka panjang terhadap pelaksanaan AMDAL dan pascatambang, terutama di sektor industri ekstraktif.
Penutup
Sejarah perizinan lingkungan di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dari sekadar kajian dampak menjadi sistem tata kelola yang menyeluruh dan adaptif.
Dari AMDAL pada era 1980-an, izin lingkungan di tahun 2009, hingga persetujuan lingkungan di era Omnibus Law, semuanya mencerminkan evolusi pemikiran bangsa dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Karena pada akhirnya, pembangunan yang sejati bukanlah yang merusak alam demi kemajuan, melainkan yang menjadikan alam sebagai mitra dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan.


